Minggu, 04 April 2021

PHILOSOPHY OF CHILDREN & CRITICAL AND LOGICAL THINKING BY

 

PHILOSOPHY OF CHILDREN

&

CRITICAL AND LOGICAL THINKING

BY

 

Department   : Physics

Class               : Physics Education Dik C 2019

 

PHILOSOPHY OF CHILDREN

            Anak merupakan subjek utama dari studi atau kajian pedagogis dalam buku Philosophy of Children. Sejarah dari filosofi barat memberi beberapa versi masa kanak-kanak, “anak” dan hubungan antara orang dewasa dan anak-anak. Perspektif mengenai masa kanak-kanak ini telah membentuk kebijakan pendidikan dan praktik di era-era sejarah tertentu, juga terbukti dalam pelatihan dan pengembangan profesional, pendidikan, pengasuhan anak dan perawatan anak yang dipraktekkan dewasa ini. Banyak orang yang ingin bekerja dalam lingkungan pendidikan mengungkapkan hasrat untuk membuat perbedaan yang positif bagi anak-anak dan kaum muda (Haynes, dkk, 2015:118). Hal ini terjadi sebab banyak orang yang sudah mengetahui bahwa masa depan dunia ada ditangan anak-anak, sehingga membangkitkan energi positif pada anak-anak adalah suatu hal yang membanggakan. Secara umum, perspektif filosofis mengenai masa kanak-kanak masuk ke dalam dua katagori yaitu perspektif yang memberikan kisah tentang bagaimana manusia muda secara alami berkembang dan masa kanak-kanak.

Sosiokultural yang menyatakan bahwa apa artinya masa kanak-kanak dan bagaimana pengalaman itu sangat beragam, berdasarkan peristiwa dan tempat tempat yang bersejarah, serta konteks kebudayaan, sosial, dan keluarga. Pola pikir demikian tidak selalu bersifat membangun dan mendidik serta sosial dengan anak-anak cenderung mencerminkan gerakan kontinum antara dasar-dasar pemikiran tersebut. Pembacaan sejarah masih diperdebatkan. Philippe Aries, misalnya banyak dikutip karena argumennya bahwa masa kecil adalah penemuan pada abad ketujuh belas, suatu pernyataan berdasarkan analisis sejarah seni visual, teks sastra, dan gaya berpakaian (1965) (Haynes, dkk, 2015:119). Anak-anak cenderung memvisualisasikan imajinasinya lewat tingdakan-tindakan sederhana, menggunakan bahasa yang masih polos dan berpakaian menurut apa yang ingin mereka contohin dan sukai. Cunningham (1995) melaporkan bahwa Aries berhasil menarik perhatian pada problem masa kanak-kanak sebagai fenomena alam dan universal serta makna penelitian atas gambar-gambar sejarah masa kecil. Menganalis representatif visual dari periode sejarah yang berbeda telah menjadi elemen yang tetap dalam kursus pendidikan dan pembelajaran anak-anak. Metode analisis dan temuannya Aries telah ditentang keras. Sehubungan dengan pernyataan Aries tentang masa kanak-kanak, Archad (1993) menulis bahwa memiliki konsep masa kecil hanya mencakup pandangan bahwa anak-anak berbeda dengan orang dewasa. Ia berpendapat bahawa pada masa abad pertengahan ada bahasa yang jelas untuk membedakan masa bayi sebagai tahap kehidupan manusia. Archad percaya bahwa gagasan khas tentang masa kecil jauh lebih jauh kebelakang daripada Aries (Haynes, dkk, 2015:119). Pernyataan ini lebih menarik dan logis dibandingkan pernyataan Aries. Sebab, masa anak-anak tidak bisa disamakan dengan orang dewasa, dikarenakan proses cara berpikir yang jauh berbeda, serta perilaku yang berbeda pula.

            Hendrick (1992:1) menjelaskan bahwa Aries memusatkan perhatian pada signifikansi sosial anak-anak dalam keluarga, pada arti ‘keluarga’, dan yang paling bertolak belakang, pada sifat hubungan orang tua dan anak dan bahwa kita berterima kasih  memiliki Aries untuk atas gagasan bahwa masa kecil adalah konstruksi yang berubah. Dia menyadari munculnya persaingan konsepsi masa kecil yang saling bertentangan dan  saling berdampingan. Hendrick berpendapat bahwa ‘sebagaimana wanita telah tersembunyi dari sejarah’, ‘anak-anak pun telah dijauhkan dari sejarah’. Analisis ini menyiratkan ideologi childisme yang sebanding dengan seksisme, pertentangan atau rasisme, yaitu ideologi yang membenarkan dan mempertahankan penindasan kelompok manusia seperti kaum wanita dan kaum warna. Childisme mungkin dianggap sama dengan ageisme, yaitu penghakiman yang tidak adil atau berdasarkan usia. Sewaktu kita membahas konsep anak, kita cenderung membandingkan konsep orang dewasa. Karakteristik anak-anak dikontraskan dengan sifat-sifat ‘orang dewasa’ dan sifat-sifat ini dimunculkan untuk menjelaskan atau membenarkan hubungan diantara mereka (Haynes, dkk, 2015:120). Pernyataan Hendrick merupakan sebuah kenyataan bahwa memang pada dasarnya, pada masa lalu, wanita dan anak-anak kurang diperhatikan, tampak bahwa banyaknya diskriminasi-diskrimasi pada masa lalu dibanyak bidang, dan laki-laki sangatlah menonjol diberbagai bidang.

            Dalam masyarakat barat, perspektif filosofis pada masa kanak-kanak memiliki akar yang kuat dalam karya Plato dan Aristoteles. Plato minat dalam bentuk pendidikan yang menyebabkan masyarakat ideal daripada masa kanak-kanak. Stables menjelaskan  bahwa Plato prihatin dengan aspek masa kanak-kanak yang belum berpengalaman, yang berkaitan dengan anak diatas. Plato memaksudkan potensi alami dan variabel pada anak-anak dan percaya  bahwa pendidikan mereka harus didasarkan pada sifat-sifat yang dianggap merupakan sifat baawan dari sang anak. Plato sebagai pendiri idealisme barat, yang tujuan pendidikannya adalah membantu para murid menyadari potensi alami manusia mereka. Dan memungkinkan siswa, melalui lembaga sekolah, untuk terpapar pada kebijaksanaan dari warisan mereka. Gagasan semacam itu mengenai realisasi ‘potensi’individu dan penyampaian suatu kelompok pengetahuan dan tradisi yang bertahan terus diartikulasikan dalam perdebatan kontemporer mengenai pendidikan dan kurikulum. Cita-cita pendidikan Plato merupakan bagian integralnya visi politik yang lebih luas untuk masyarakat, diuraikan ke publik. Dia berargumentasi bahwa anak-anak hendaknya disingkirkan dati orang tua mereka untuk tujaun pendidikan mereka, dan ditempatkan dibawah bimbingan para pengawal, agar pelatihan dapat dikendalikan dengan ketat dan akses pada seni dan sastra disensor dengan cermat (Haynes, dkk, 2015:121).

            Seorang mahasiswa Plato, Aristoteles berpendapat bahwa orang yang benar-benar berpendidikan menggunakan alasan unuk membimbing perilaku moral dan perilaku politik mereka. Menurut Aristoteles, yang mendirikan sekolah nya sendiri di athena, pendidikan hendaknya memungkinkan perkembangan nalar demi kepentingan karakter, kebahagiaan, dan pendidikan hendaknya selaras dengan apa yang disebut sebagai pola alami pertumbuhan dan perkembangan manusia. Gagasan-gagasan pendidikannya, yang diuraikan dalam buku VII dan VIII tentang politiknya, didasarkan atas pola demikian, lima tahun pertama adalah tentang pertumbuhan fisik, gerakan, permainan, perlindungan dari bahasa kotor dan mendengarkan cerita yang dipilih dengan seksama, diikuti oleh dua tahun mengamati orang lain ditempat kerja. Aristoteles menulis, ‘Tujuan pendidikan seperti halnya setiap jenis seni, adalah membuat kekurangan alam yang baik (Haynes, dkk, 2015:120-121).

            Dr. John Ratey, asisten profesor klinik psikiatri di Harvad Medical School, mengatakan, aktivitas istirahat selama hari sekolah menciptakan pelajar yang lebih baik karena berpengaruh gerakan pada otak. “Sewaktu anda bergerak, anda bergerak, anda merangsang semua sel saraf yang kita gunakan untuk berpikir, dan sewaktu anda merangsang sel-sel saraf itu, sel itu membuat mereka siap melakukan berbagai hal,” kata Ratey, seorang pakar dibidang neuropsychiatry dan penulis dari “Spark: The revolutionary New Science of Excercise and the Brain” yang telah menghabiskan 30 tahun berfokus pada “attention systems” dari otak (Wallace, 2018:CNN Website).

            Children are fresh to the world, they are the creations of God. Most of parents punish the kids because they think that they were wrong, but actualy the kids didn’t wrong. They just playing, as their nature own life as kids. That’s an errornously though and behaviour of most of parents in this world ( Goering, 2011: youtube).

            The project of connecting philosophical concepts in the philosophy for children curriculum with the concepts in academic philosophy from which they were derived can be of considerable value for teachers and scholars wishing to ascertain the grounds of the curriculum in the philosophical tradition (Sharp and Reed,1942:10). Betapa pentingnya pergeseran pemikiran sebagai sebuah konversi baru dalam hal hubungan antara pendidikan dan anak. Bahwa pendidikan sangat penting bagi anak-anak, sebab, dari anak-anak yang berpendidikanlah terbentuk masa depan sejarah yang akan jauh lebih baik lagi.

 

CRITICAL THINKING AND LOGICAL THINKING

            Ada dua terminologi yang dewasa ini muncul dalam bidang pendidikan yaitu critical thinking and logical thinking.

            Berpikir kritis adalah berpikir dengan baik, dan merenungkan tentang proses berpikir merupakan bagian dari berpikir dengan baik. John Chafee, Direktur pusat bahasa dan pemikiran kritis di LaGuardi College, City University of New York mendefinisikan bahwa “berpikir kritis sebagai berpikir untuk menyelidiki secara sistematis proses berpikir itu sendiri” (Johnson, 2002:187). Kemudian ditambahkan oleh Elaine B. Johnson, Ph.D, “Maksudnya tidak hanya memikirkan dengan sengaja, tetapi juga meneliti bagaimana kita dan orang lain menggunakan bukti dan logika” (Surya, 2011:130). Jadi pemikiran yang kritis itu terbentuk secara beruntut, teratur, diambil berdasarkan bukti-bukti nyata dan logis. Pemikiran yang kritis itu tidak terbentuk secara tidak sengaja, melainkan terbentuk secara sadar dan disengaja.

            Logis is the science of the correct reasoning ( Mero, 1990: 11). Definisi ini menjelaskan bahwa dalam berpikir logis, sangat minim ketidakjelasan, dimana mengarah pada kemungkinan munculnya beragam interpretasi.

Dalam pendekatan ini, pemikiran logis kritis mendapatkan tempat utama. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dapat disusun dan tidak tenkat periodisasi waktu, serta dapat menerapkan analisis yang dapat menjangkau waktu saat dan masa datang. Demikian pula alat yang digunakan untuk menemukan jawaban secara filosofis terhadap pertanyaan filosofis. Cara analisis dalam pendekatan filsafat yang bersidat kritis, yaitu: 1) analisis bahasa (linguistik), dan 2) analisis konsep.

            Menurut Harry S. Schofield, analisis bahasa adalah usaha untuk mengadakan interpretasi yang menyangkut pendapat, atau pendapat-pendapat mengenai makna yang dimilikinya (Anwar, 2018:36). Analisis bahasa sangat diperlukan untuk menghasilkan tinjauan yang mendalam. Karena itu, bahasa merupakan alat rasional untuk menghubungkan satu konsep atau peristilahan dalam konteks semestinya dengan konteksnya.

            Sedangkan analisis konsep merupakan suatu analisis mengenai istilah-istilah yang mewakili gagasan atau konsep. Dimana jawabannya berupa definisi-definisi, dan definisi tergantung pula kepada tokoh-tokoh atau lembaga yang mengeluarkan atau menciptakannya (Anwar, 2018:37). Analisi ini menunjukkan bahwa berpikir kristis, bukan hanya sekadar kritis, tetapi dalam berpikir kritis sangat membutuhkan konsep, konsep dari proses pemikiran itu sendiri.

            John S. Brubacher mengemukakan bahawa filsafat pendidikan mempunyai hubungan yang erat dengan ilmu pendidikan atau pedagogik. Ia berpendapat “There is a similar relation between pedagogy and the philosophy of education must wait for design of action. Conversdy, education philosophy, whose solution can be achieved only in action, will have urgent need for the art of education. Philosophy cannot bring is the theories into existence merely by thinking them. This the art of education can do and in so doing can make education a laboratory where pholosopical distinctions can be empirically tested (Brubacher, 1962: 15). Hubungan ini erat sebab, ilmu pendidikan itu sendiri memiliki filsafat pendidikannya sendiri, dimana banyaknya pemikiran-pemikiran yang dituangkan oleh banyak tokoh pendidikan mengenal ilmu pendidikan, dan merupakan bagian dari filsafat pendidikan. Sehingga bisa dikatakan bahwa filsafat pendidikan merupakan bagian dari pendidikan itu sendiri.

 

DAFTAR PUSTAKA

Haynes, J., Gale, K., Parker, M. 2015. Philosophy And Education. Routledge: New York.

Anwar, M. 2018. Filsafat Pendidikan. Prenadamedia group: Jakarta.

Brubacher, J. S. 1962. Modern Philosophies of Education. McGraw-Hill Book: Amerika Serikat.

Surya, H. 2011. Strategi Jitu Mencapai Kesusksesan Belajar. PT Gramedia: Jakarta.

Johnson, E. B. 2002. Contextual Teaching And Learning: Menjadikan Kegiatan Belajar-Mengajar Mengasyikkan dan Bermakna. MLC: Bandung.

Mero, L. 1990.  Ways of Thinking: The Limits of Rational Thought and Artificial Intelligence. World Science Publishing: London.

Sharp, A. M., Reed, R. F. 1942. Student In Philosophy for Children. Philadelphia: United States of America.

https://youtu.be/7DLzXAjscXk

Tidak ada komentar:

Posting Komentar